P E N J A R A

P E N J A R A

Cerpen:
P E N J A R A
Oleh Mansyur Usman

 

“Saya ingin menunjukkan kepada dunia kewartawanan indonenia, hidup kompromistis pada hakekatnya adalah mengkhianati diri sendiri dan nurani bangsa,” kata Ayib dari balik terali besi.

Hujan di bulan Desember tahun Ialu menyambut kedatanganku ke rumah seorang sahabat karib sejak tiga satengah lahun Ialu tidak sempat aku kunjungi.

Aku terperangah setelah menyaksikan panorama di halaman dapan justru banyak berubah.

Kedatanganku tiga setengah tahun lalu, suasana segar masih terasa, kumbang srigading tampak menjalar bebas di sepanjang teras. Begitu halnya aneka ikan hias, satu sama lain saling berkejaran di kolam jernih.

Kini kolam itu kering, kembang-kembang pun layu dan berguguran justru di musim penghujan. Apa yang terjadi?

Tiga kali aku mengucap salam. Tetapi tidak ada jawaban. Suaraku memantul ditolak tembok putih yang tak sejernih dulu. Tiba-liba dari arah lorong sebelah rumah itu muncul sosok anak kecil celana pendek.

Rambutnya kemerah-merahan, poninya dibagian depan menjorok kebawah hampir menutupi mata. Tangannya sebelah kanan menenteng durian, sedang langan sebelah kiri menggenggam uang logam yang mungkin disuruh orangtuanya membeli mintak tanah di toko terdekat.

Matanya yang bulat memandangku. Agak lema tatapannya jatuh pada kantong plastik putih berisi jeruk yang kubeli di kota kabupaten tadi.
“Kemana Om si pemilik rumah ini ujang?” tanyaku penuh penasaran.
“Kata ayah, Om cekolah”, jawabnya masih cadel.

“Benarkah sahabat karib yang tengah kurindukan ini sekolah?”, pikirku dengan rasa penasaran yang memuncak.
“Kemana Om sipemilik rumah
ini?”, sekall lagi meyakinkan.

Belum sempat menawab pertanyaanku, tiba-tiba bocah itu berjalan setelah terdengar suara memanggil namanya.

Gerimis kecil kemball turun. Arloji di tangan kiriku menunjukkan pukul 12.00. Tanpa terasa, setengah jam aku mematung dengan keharuan yang memüncak.

Ikhwal perkenalanku dengan Ayib ketika sama-sama kuliah di sekolah tinggi publisistik di jakarta. Nama panjangnya Toyyib bin Abubakar Assegaf, dilahirkan dari keluarga arab yang sangat agamis.

Dan ketika masuk semester empat kami berpisah. Kuliah kami drop out karena faktor biaya. Sementara Ayib telah melanjutkan kuliahnya sampai menyandang predikat sariana.

Dia selalu berterus terang kepadaku, termasuk soal cita-cita. Ingin menjadi wartawan ptofesional. Maunya menikah di usia ke-30, dengan gadis serumpun. ltu harga mati yang tidak bisa ditawar.

Selebihnya dia menjelaskan karena sudah aturan dari garis keturunan di “Hadromi” (tempat lahir para leluhur di Saudi
Arabia) sana.

Bagaimana, dengan anak? Menurutnya tidak terbatas, bisa jua, tiga, empat bahkan selusin sekalipun. Itu bukan berarti dia radikal, anti KB dan tidak dukung progrem pemerntah.

Sebab dia sendiri mengaku, sudah berhubungan intim dengan gadis idamannya bernama Zahron, putri tunggal seorang pengusaha real estate juga seorang tuan tanah.

Seperti dia penah bilang, warisan yang dia terima tertalu besar karenanya tak ada batas bagi sang istri melahiran anak-anaknya.

“Aku tidak mau dibuat gila karena harta. Seperi sekarang, zaman edan. Biasanya orang yang kebanyakan warisan bisa edan seperti dalam kondini sekarang. Orang kaya dan para pejabatnya dibuat edan karena harta,” katanya satu ketika.

Tidak lama kemudian aku dikenalkan dengan Zahroh, adik kelas dalam satu fakultas. Aku jadi kenal tentang sosok Zahroh. Perilaku kesehariannya selalu tampil beda.

Disamping tidak jarang melepas jilbab, dia selalu berseberangan pendapat dengan program pemerintahan yang syah. Hal itu selalu terjadi dalam sebuah seminar yang digelar oleh senat mahasiswa antar fakultas.

Nama Zahroh jadi melejit, disamping dikenal putri seorang pengusaha besar, dia juga sosok radikal yang aspirasinya sering menjadi referensi seluruh penerbitan surat kabar.

Tiba-tiba lamunan entang masa lalu Ayib buyar. Dan dari arah barat Zakroh muncul bersama tiga orang anaknya. Tangannya sebelah kanan menenteng rantang kosong dan sebuah kantong plastik berisi beberapa helai pakaian kotor milik laki-laki.

Dengan tatap mata penuh haru, dia gugup menjawab pertanyaanku. “Apa yang telah terjadi Zahroh?,” tanyaku.

Kemudian, ia terenyum sinis, Dalam menuju pintu, kubimbing si keci berusia 3,5 tahun yang mengaku bernama Zen.

Aku dipesilahkan masuk. Ketika daun pintu terkuak, nampak beberapa perabotan sederhana Almari dan kursi berukir dulu entah raib kemana? “Kemana Ayah sayang?” tanyaku sembari memeluk si kecil, Zen.

“Cekolah kata mama,” jawab si kecil dengan nada masih cadel. “lya!…. Papahnya, kata Mama sekolah,” celetuk si Achmad (7,5) yang sejak tadi berdiri di samping kananku.

Keduanya menatapku secara begantian. Tanpa sadar……….., kami turut melepas air mata. Terbesit rasa haru yang dalam kondisi seperti ini.

Sesaat kemudian Zahroh datang membawa secangkir kopi. Raut mukanya kusam tidak seindah tiga setengah tahun yang lalu ketika aku datang di situ.

Zahro wanita Arab, raut mukanya bentuk lonjong telur. Matanya bulat besar dan indah. Bulu matanya seperti menari-nari bila sedang malihat.

la selalu berkebaya panjang, tetapi kini, wajah yang dulu terkenal cantik itu kini seperti sedang layu.

“Darimana kamu Zahro?” tanyaku kemudian. “Bezook.” jawabinya pendel
“Ayib sakit?”

Akhirya dijelaskan, sejak anam bulan yang lalu suaminya ditahan, pasalnya terkait dengan esai yang dia tulis di surat kabar yang membuat sang penguasa kebakaran
jenggot.

Ia sudah siap menanggung resiko selaku korektor atas kemampuan penguasa yang korup, dan melakukan nepotisme secara luas dan terbuka.

Kenekatan Ayib mencemaskan aku dan kawan-kawan dekat. Sebab boleh dibilang dia sendirian di garis depan. Tetapi Bung Usman, mau tahu, apa dia bilang padaku tadi ditempat bertemu para keluarga tahanan?

“Aku ingin menunjukkan kepada dunia kewartawanan Indonesia, bahwa hidup secara kompromistis pada hakekatnya adalah pergkhianatan kepada di hati nurani diri sendiri dan nurani bangsa,”

“Dia bilang begitu?” aku tercengang

“Ya…. dia tetap teguh. Satu hal yang disayangkan, dia tidak pernah diperiksa, tidak pernah dimeja hijaukan seperti layaknya seorang pesakitan. Dia ditahan tanpa melalui proses hukum.

Tuduhan yang disebarluaskan diberbagai mass media, ia dituduh telah merongrong kewibawaan pemerintahan pada waktu itu dengan esainya yang pedas membual penguasa kebakaran jenggot.

Ancaman bahaya bagi keamanan nasional, Karena itu, penguasa membredel surat kabar tempat dia bekerja, dan dianggap telah melakukan pelanggaran keterliban umum dan pelanggaran atas kekuasaan.”

“Aku pun tidak mengeri, mengapa dia tidak dimejahijaukan?” pikirku merenung.

Sebuah perenungan telah dilakukan untuk pendewasaan kelemahan di dalam sana, ia selalu menyebut bahwa dirinya dalam penjara kecil.

Di luar tahanan itu maksudnya alam bebas adalah penjara yang lebih besar. “Ia hanya mencemaskan aku dan anak-anak,” suara Zahro tenang.

Meskipun tubuhnya semakin ramping oleh kelelahan dan derita panjang sejak suaminya ditahan. Perempuan di hadapanku ini tegar, nyata iman Nur Illahi di sanubarinya memancar kendati fisiknya lelah.

“Apa usahamu selama ini?” Bisikku menyelidik.

“Aku tetap mempekerjakan orang di kebun durian peninggalan orang tua. Ada kalanya pikiran lagi tenang, aku menulis cerpen sekedar mengisi kesibukan belaka,” tuturnya kalem.

“Bagaimana cara menemuinya?” Tanyaku pelan

“Hanya istri, orang tua, dan anak-anak yang diperbolehkan membezok. Begitulah peraturan yang berlaku.”

Peraturan itu yang membuatnya terkekeh-kekeh. Ia merasa jadi orang penting di antara kawan-kawannya. Padahal aku hanyalah seorang saksi mata yang mau wrsaksi dengan sedikit keberanian.

Barangkali dengan sedikit keberanian ini bisa membanggakannya karena tidak semua insan Pers memilikinya. Hal itu membuatnya terkekeh-kekeh. Aku sendiri tidak tahu apa maksudnya.

Mungkin juga dia manertawakan dirinya sendiri, yang dinilai telah mengonyolkan diri. Atau apakah dia merasa dirinya sebagai pahlawan di tengah kalangan pemerintahan?

Zaroh menggeleng, Ayib seorang lelaki yang kukatahui luar dan dalamnya. Kelihalannya secara fisik, dia pongah. Telapi sebenarnyə hatinya sangat lembut dan romantis.

Perbincangan kami terputus oleh kumandang adzan azar terdengar di sebrang sana.

Aku merenung, sepertinya jarang dijumpai, ketegaran dan ketabahan seseorang yang tengah meringkuk di dalam sel tahanan, karena selalu kebenaran yang hakiki lah yang menjadikan dia kuat.

Bahkan dia menyebutnya sedang sekolah, seperti ia sampaikan kepada anak-anaknya. Akupun bangga, sebuah idealis yang tidak pernah luluh atas diri seorang sahabat yang berprofesi sebagai wartawan.

Masih adakah sosok wartawan yang seperti Ayib di rezim reformasi seperti sekarang ini?

Kupanjatkan sekelumit doa teruntuk almarhum, Moch. Toyyib bin Abubakar Aseggaf (Ayib Bakar) Semasa dalam hidupnya dikenal sebagai kolomnis, penulis dan esai, tajuk dan opini. Nama besar ini telah diakui oleh dunia wartawan Indonesia

Nama itu kini menjadi sumber alas inspirasiku yang kami uraikan dalam bentuk cerpen. ***)

“Kenangan di Jatiwangi Jawa Barat 1989”

 

 

Reposted: Malangupadatenews99.com
Malang, 15 Maret 2025

Note:
Cerpen ini telah diterbitkan oleh Tribun pada tahun 2010, edisi 18, 24-31 Mei 2010 dengan judul “Penjara” yang tulis oleh Mansur Usman,: “Kenangan di Jatiwangi Jawa Barat 1989”

Sumber:
Surat kabar mingguan, Tribun 2010 edisi 18, 24-31 Mei 2010.